Bermalam Dengan Rasulullah
Pada malam yang dingin dan tawar, kedua pipiku basah. Hati ini rasanya sakit sekali mendengar banyak orang yang disebut ulama, menyuarakan dakwah yang meresahkan.
Ya Allah, ada apa denganku? Kenapa aku selalu tidak sependapat dengan orang-orang yang selalu mereka sebut sebagai ulama itu. Begitu banyak ulama yang berjubah dan berbicara dalam khotbahnya:
“Kalo bisa kalian beli sesuatu di tempatnya orang muslim, jangan di tempatnya orang Kristen. Karna kita harus jihad. Kalo perlu di kota ini jangan ada gereja. Kalo perlu kita bekerjasama untuk tidak menyetujui pembangunan gereja. Demi Allah dan Rasul, kita harus semangat berjihad dan berdakwah. ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA SAYIDINA MUHAMMAD!”
Sang ulama itu mengakhiri keterangannya dengan shalawat dan suara yang lantang menggema. Wajahnya bercahaya. Sontak ribuan jamaah mengikuti teriakannya.
Aku lunglai mendengarnya. Dada ini sakit bukan main. Bukankah dakwah yang seperti itu akan menyakiti hati pihak lain dan memicu konflik kemudian menimbulkan peperangan dan kerusuhan? Ya Allah, tolong katakan padaku, aku harus bagaimana. Sedih sekali aku mendengarnya ya Allah. Ya Allah, nama Rasul disebut-sebut di pidato tersebut. Seandainya beliau masih hidup, bagaimana reaksi beliau?
Ya Allah, aku sangat kangen sekali dengan RasulMu.
Aku merintih seperti ini nyaris tanpa suara, saking perih dan sakitnya hati ini. Kemudian kedua mataku terkejut dan membelalak. Beliau hadir begitu saja. Ya Tuhan, benarkah ini RasulMu? Doaku telah terjawab dalam sekejab. Dadaku berdebar hebat. Beliau benar-benar di sini sekarang. Bersamaku. Aku Speechless.
“Salam, wahai Maia Rosyida, hamba Allah yang sedang bersedih. Sesungguhnya Allah tidak akan pernah meninggalkan hambaNya.”
Bibirku bergetar untuk sekedar menjawab salamnya. “wa alaikumussalam.. ya Nabi….”
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku tidak bisa berfikir apa-apa dan sontak menghambur ke pelukan beliau dan terisak di sana. Lama sekali Rasul membiarkanku menangis dalam peluknya, hingga kain putih beliau basah oleh air mata keruh ini.
Begitu tangisku mereda, barulah Rasul menyeka air mataku dan mengajak duduk bersama. Sementara sisa isakanku masih terdengar. Hidungku masih memerah.
“Maia, bukankah pernah aku katakan padamu bahwa pada saat mendekati hari akhir nanti, akan banyak bermunculan ulama-ulama su’. Yaitu orang-orang yang di luarnya tampak seperti ulama, tapi sesungguhnya mereka nanti mati dan Allah akan mengasingkannya.”
“Ya Allah” dadaku tercekat dan aku memandang Nabi lemah. Suaraku terdengar sangat lirih. “Kenapa ya Nabi. Kenapa mereka begitu…?”
Aku kembali bertanya dengan menangis. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri. Lagi-lagi Nabi memilih diam dan menunggu hingga tangisku mereda.
“Mereka memang berilmu tinggi. Tapi mereka menggunakan ilmunya hanya untuk mengalahkan orang lain dan menyombongkan diri. Mereka seolah-olah memasang topeng rendah hati atau tawadhu’, tapi sesungguhnya ketika mereka merasa sudah tawadhu’, itulah letak kesombongan terbesar. Orang-orang seperti itu telah menipu Allah, yang artinya telah menipu dirinya sendiri.”
Isakanku semakin mengeras. Aku malu sekali karna tangis yang berlebihan ini, tapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri.
“Memang, seolah-olah orang seperti itu tampak indah dan bercahaya. Tapi kamu harus tau Maia, bahwa setan juga mampu menyamar menjadi cahaya.”
Seketika berkelebat kisah tentang setan yang mencoba menipu Syekh Abdul Qodir Jailani dengan sorotan cahaya. Akan tetapi gagal total, karna sang Syekh sangat dekat dengan Allah.
Dalam helaan lembut, Nabi melanjutkan. “Memang, mereka berwibawa dan elegan dengan jubah, koko atau jilbab-jilbab panjang bagi yang perempuan, tetapi karna kesombongan yang besar, mereka nanti akan dilucuti pakaiannya hingga telanjang, karna yang dilihat Allah adalah matahati seseorang.”
Isakanku redam. Aku tertunduk lesu. Kedua pundakku melorot lemah.
“Maia.. Banyak sekali orang tampan dan cantik di dunia ini yang pada hari hisab nanti, mereka akan bertemu Allah dalam keadaan hina, dengan wajah yang suram dan gelap.”
Aku menggeser dudukku, untuk bisa lebih dekat lagi dengan beliau dan supaya aku bisa lebih bisa menikmati suaranya yang sejuk dan menawan itu.
“Aku tau kamu sedang bersedih karna banyak orang yang menjelek-jelekkan golongan lain kan..?”
Aku mengangguk. Dan Nabi menggeser duduknya mendekatiku. Sehingga kami sangat dekat sekali.
“Sesungguhnya yang mengolok-olok golongan lain itu belum tentu lebih baik dari yang mereka perolokkan. Padahal hubunganku dengan kaum non muslim saja sangat akrab. Sekarang aku mau bercerita kepadamu, supaya kamu lebih tenang…”
Senyum dan dadaku mengembang perlahan. Aku suka melihat senyum Nabi yang tidak bisa ku jelaskan ini.
“Dulu aku pernah diusir oleh orang-orang Thaif dan dianiaya orang Mekkah, lalu ada seorang non muslim yang menolongku. Namanya Mut’ah. Juga ketika perang hunain, kami kekurangan tombak sebagai senjata perang. Kemudian aku bekerjasama dengan Thufail, seorang non muslim yang meminjamkan tombak untuk kami berperang. Dan banyak lagi cerita soal hubungan dan kerjasamaku dengan orang non muslim. Selama kita bekerjasama dalam kebaikan, maka itu akan meningkatkan taqwa kita karna hal demikian adalah perintah Allah.”
Kami berdua sejenak terdiam untuk mempersilahkan semilir angin yang berhembus lembut. Hatiku mulai segar setelah mendengar penuturan beliau.
“Nabi, sementara sekarang banyak sekali orang yang disebut sebagai ulama, lalu mereka berdakwah menjelek-jelekkan kaum lain dan mengatasnamakanmu..”
“Aku sedih sekali Maia. Aku sedih sekali dengan orang-orang seperti itu. Sesungguhnya mereka telah menyakitiku. Karna mereka menyebut-nyebutku dalam dakwah-dakwah, tetapi lisan dan tindakannya tidak sesuai denganku. Tetapi kita harus selalu berdoa untuk kebaikan semua.”
“Aku mengerti Nabi. Lalu, bagaimana aku? Apa yang harus aku lakukan untukmu, wahai manusia yang paling aku cintai?”
“Tingkatkan imanmu. Percayalah sepenuhnya pada Allah dan padaku.”
“Bagaimana jika mereka menyerangku dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadist-hadistmu? Nabi, sesungguhnya sering sekali ketika aku berpendapat, mereka melawan dengan bilang: mana hadits shohehnya? Mana dalilnya? Begitu. Dan aku sedih sekali. Cara mereka bertanya kasar sekali. Lidahku kelu jika sudah diserang begitu.”
“Orang-orang seperti itu persis sekali dengan kaum jahiliah pada masaku. Juga seperti kaum Bani Israil pada jaman Nabi Musa. Mereka bertanya hanya untuk ingin mematikan kita, bukan bermaksud mencari petunjuk. Nabi Musa pun pernah tidak bisa berkata apa-apa di hadapan Fir’aun. Dan aku juga pernah hanya diam ketika aku menyampaikan bahwa berhala-hala akan menjadi kayu bakar di Jahannam, kemudian orang-orang kafir menertawakanku karna mereka berfikir tentang Nabi Isa yang juga disembah. Padahal yang aku maksud berhala adalah setan, tetapi aku terdiam oleh tawa mereka yang menggelegar.”
Aku menyimak suara merdu itu dengan tenang dan perlahan dada ini melega.
“Orang-orang seperti itu hanya mengandalkan nafsu, bukan akal. Tetapi kita harus tetap meminta kepada Allah supaya hati mereka disejukkan oleh kebaikan dan petunjuk.”
“Lalu, bagaimana lagi yang harus aku lakukan Nabi? Aku begitu terdesak. Sementara aku merasa lemah sekali.”
“Seluruh manusia pada hakikatnya selalu merindukan kebaikan. Tidak ada yang lebih indah dalam kondisi terdesak seperti itu selain kesabaran. Maia, kesabaran adalah hal besar yang sangat disukai Allah. Bukankah kamu ingin Allah terus menyayangimu?”
Aku mengangguk cepat.
Rasul hanya tersenyum. Sementara masih ada sedikit yang ingin aku sampaikan dan beliau jelas tau apa yang sedang ku fikirkan.
“Aku seperti orang asing Nabi. Aku kadang bingung harus bilang ke siapa. Aku sedih sekali.”
“Maia, jika pun seluruh dunia ini memusuhimu atau enggan mendengarmu, masih ada Allah dan aku. Dan itu cukup. Karna tidak ada yang lebih penting daripada pembelaan Allah dan RasulNya. Dan aku adalah orang yang sangat asing pada masa-masa perjuangan.”
Aku memandangi wajah yang sangat sempurna itu tanpa berkedip.
“Sesungguhnya kebenaran hanya akan sampai dengan kesabaran. Dan jika kamu memilih tidak sabar, Allah akan meninggalkanmu. Kamu mau Allah begitu?
“Ngga mauuuu”
Terdengar suara tawanya yang sedang dan renyah. Hatiku berbunga-bunga.^^
Rasa kebahagiaan ini berkembang dan aku kembali menjatuhkan kepala ke dada beliau. Kedua tangan kuat itu merengkuh dan membiarkan aku tenggelam dalam perasaan hangat yang tak mampu lagi ku bahasakan. Aku berada dalam peluknya sangat lama. Air mata sedihku menguap. Tinggal air mata bahagia berderai-derai tiada habisnya. Aku merasakan kepalaku dikecupnya. Harum nafasnya seperti parfum surga masa depan.
Kemudian beliau menyudahi pelukannya perlahan.
“Aku harus pergi dulu untuk menemui orang-orang shalih yang tengah bekerja keras mengamalkan teladanku. Kapan pun membutuhkanku, kamu cukup bertanya kepada mereka, orang-orang yang shalih hatinya itu.”
Kedua mataku kembali mengeluarkan air mata. Aku tersenyum dan mengangguk. Kemudian menunduk untuk meraih tangan beliau dan mengecupnya. Lama.
Aku begitu mencintai manusia indah yang satu ini. Dan hingga hari ini, belum pernah ku temukan lagi, lelaki lain yang seindah beliau. ^^
Ya Allah, terimakasih atas anugerah paling indah ini. Selamanya, aku mencintainya karnaMu.^^
Maia Rosyida, Penulis Buku GUSDUR itu Asyik loch
24 Ramadhan 1432, 24 Agustus 2011
Comments
Post a Comment