Senyummu Adalah Hidupku


Oleh: Sarah Aulia

Langkahku terhenti di depan sebuah toko buku. Teringat buku yang harus aku beli, akupun memasukki toko buku itu.

“Ini dia…” katakku sambil mengambil sebuah buku yang bersampul biru, kemudian membaca isinya sebentar.

“Maaf ya… maaf…” seorang pria tiba-tiba tidak di kenal datang dan langsung memelukku tanpa alasa yang jelas.

Beberapa detik berlalu. Aku sempat bingung. Karena tidak segera melepaskan pelukannya akupun mendorongnya dengan kasar. “Apa-apaan sih lo?” katakku kasar

“Aduh… maaf banget ya… tadi aku lagi di kejar-kejar orang. Makasih ya mau bantuin aku.” Katanya kemudian tersenyum kepadakku.

“Orang stress.” Katakku kemudian meninggalkannya kemudian membawa bukuku ke kasir.

“Eh La… lo dari mana aja?” Tanya Dina menghampiriku.

“Ada orang stress, tiba-tiba meluk gue nggak jelas gitu. Katanya lagi di kejar-kejar sama orang.” Katakku kemudian menunjuk orang yang tadi memelukku.

“Demi apa? Lo di peluk sama dia? OMG… beruntung banget sih lo La, bisa di peluk sama dia.”

“Beruntung? Yang ada gue mandi kembang tujuh rupa abis ini.” Katakku ketus.

“Lo tau nggak dia siapa?” tanyanya. Aku menggeleng tanpa dosa. “Dia itu Landry. RAFAEL LANDRY TANUBRATA. Mantan vokalis band Cola float, sumpah ternyata dia keren banget.” Katanya kemudian histeris

“Cola float? Apaan tuh? Kayak nama minuman?” katakku polos.

“Cola float? Masa lo nggak tau? Itu loh, band yang judul lagunya Aku Sayang Kamu. Yang sering gue nyanyiin. Sumpah lagunya enak banget.”

“Terserah lo deh. Mau cola float kek. Mau coca cola kek. Gue nggak perduli. Balik yuk!!!” ajakku kepada sahabatku itu.

“Ah nggak seru lo… yaudah ayo balik.” Dina kemudian menggandeng tanganku dan kamipun keluar dari mall itu.

***
Hari berganti. Sekarang aku sudah mengenakan kemeja putih dan rok abu-abu selututku. Akupun bersiap untuk segera berangkat ke sekolah.

“Kamu udah bangun La?” seorang wanita yang tak lain mamaku menyapku dengan ramah. “Tadi ada orang yang nganterin bunga. Katanya buat kamu.”

“Dari siapa ma?”

“Nggak tau. Itu bunganya ada di ruang tamu.” Akupun segera mengambil kiriman bunga itu. kemudian memperhatikannya, sebuah mawar merah dan sekotak cokelat kesukaanku. Dan ada sebuah amplop berwarna biru yang berisi sebuah note. Kata-katanya sederhana, tapi menurutku itu cukup berkesan.

Cinta yang tumbuh dari sebuah perasaan yang sederhana.

***

Aku sampai di sekolah. “Pagi Lala. Sendiri aja?” seseorang mengagetkanku dari belakang.

“Eh, Ilham? Keliatannya?” katakku kepada seorang pria yang berada di belakangku yang ternyata Ilham, sahabatku.

“Sendiran. Biasanya sama Pramudina? Sohib lo?” 

“Apasih? Gajelo ham. Emang lo bukan sohib gue?” 

“Sejak kapan kita sohiban?” tanyanya menggoda. “Becanda-becanda. Eh ngomong-ngomong, gimana peluncuran buku kedua lo kemarin?”

“Baik. Lo kok nggak dateng sih? Jadikan gue Cuma berdua sama Dina.” Katakku sedih.

“Sorry deh. Gue ada acara, jadi nggak bisa dateng…” 

“Oh yaudah. Eh ngomong-ngomong kemarin lo rekaman buat band lo ya? Apa kabarnya tuh band?”

 “Boy Band.”

“Ia deh apakatalo.”

“Baik lah. Emang kenapa?” 

“Nggak. Soalnya masa ada band yang mau nerima orang kayak lo?” candakku. “Maksud gue emang nggak ada orang lain yang lebih waras untuk jadi personil band, selain lo?”

“Buktinya? Gue waras. Kalau nggak waras mana bisa gue break dance sambil nyanyi.” Katanya sambil menjulurkan lidahnya ke arahku. “Udahlah ayo kita masuk kelas! Nanti telat, diomelin Pak Effendi loh…” Ilham kemudian menarik tanganku menuju kelas. 

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang ketika Ilham menarik tanganku. Oh tuhan… apa yang terjadi padakku? Kenapa rasanya jantung ini tidak bisa berhenti berdegup kencang. Apakah aku suka sama Ilham? Nggak mungkin. Aku, dia, dan Pramudina sudah bersahabat sejak kecil. Masa aku mengingkari persahabatan demi cinta sesaat?

***
“Bisa gila gue lama-lama….” Jeritku ketika aku melihat sebuah karangan bunga lagi di meja belajarku.

“Kenapa lo La?” Tanya Dina yang sedang bermain di rumahku. Tepatnya sekarang dia berada di kamarku.

“Itu!” katakku menunjuk sebuah karangan bunga yang di letakkan di meja belajarku.

“So? Apa yang salah? Bunganya bagus.” Kata Dina enteng, sambil mengambil mawar merah dan sekotak cokelat yang ada di meja belajarku.

“Bagus sih bagus. Tapi ini terror namanya. Udah hampir satu bulan tiap hari gue bisa dapet 3 kiriman bunga sama cokelat kayak gitu. Emangnya rumah gue taman bunga apa? Sehari di kirimin 3 karangan bunga, udah kayak minum obat aja.” Katakku emosi

“Terus?”

“Nggak ada nama pengirimnya pula. Ditambah note-note itu!!!” katakku sambil menunjuk beberapa buah amplop yang berada di samping kotak cokelat. “Bisa gila gue lama-lama!!” jeritku lagi.

“Melihat dirimu tersenyum kepadakku, bagaikan melihat seluruh dunia tersenyum kepadakku. Wah… wah… kata-katannya bagus. Dapet darimana lo, La?”

“Dapet dari mana? Ya dari semua kiriman nggak jelas itu lah….”

“Itu berarti lo punya pengagum rahasia.”

“Apa? Pengagum rahasia gue? Darimana?”

“Ya wajar lah lo dapet karangan bunga sama note kayak gitu kayak gitu tiap hari. Lo kan novelis? Dan buku lo juga cukup terkenal. Jadi wajar lah kalau ada yang ngefans sama lo samapai kayak gitu. Kalau gue tuh baru nggak wajar. Gue siapa? Nggak ada yang kenal. Paling satpam depan sekolah yang kenal sama gue.”

“Huh…” akupun hanya bisa menghela nafas. Sesaat ku menatap mata sahabat baikku itu. Mungkin Dina benar. Tapi kenapa dia melakukan hal itu kepadaku? Kenapa dia tidak mencantumkan namanya di setiap kirimannya? Apakah dia benar-benar pengagum rahasiaku? Atau dia orang yang senang meneror kehidupan orang lain.

***
“Hai La… Din.” Seseorang menepuk pundakku.

“Eh lo Ham….” Sapaku kepada Ilham.

“Gue cariin lo berdua di kelas nggak ada, taunya ada di kantin.”

“Tumben lo nyariin kita? Kenapa nih… pasti ada udang di balik batu?” Tanya Dina. Memang benar jika Ilham mencari aku dan Dina pasti ada sesuatu yang dia inginkan.

“Tau aja…” kata Ilham sambil menunjukkan senyum beribu arti.

“Oke. To the point aja. Lo maunya apa? Kalo duit gue nggak punya, tanggung bulan nih…” kata Dina.

“Nggak kok. Gue Cuma mau ngajak lo ke peluncuran Single boy band gue. Mau ya….” Ilham memohon.

“Kapan?” Tanyaku.

“Hari minggu. Please dateng ya….” Katanya memohon.

“Oke deh Ham. Gue usahain.” katakku.

“Kok usahaiin sih… lo berdua harus dateng, nggak mau tau.”

“Ia deh… gue sama Lala dateng. Kita balik ke kelas dulu ya. Udah bel tuh.” Kata Dina. Kemudian bel sekolah berdering dua kali, itu tandanya jam istirahat sudah habis. Dan aku sudah harus kembali ke kelas.

***
Sesuai janjiku yang kemarin, aku dan Pramudina datang ke acara peluncuran single terbarunya Ilham. Di sana rencananya Ilham akan mengenalkanku pada personel Boy bandnya.

“Hei!!!” seseorang memanggil kami dari kejauhan. Dan aku tahu dia pasti Ilham. Kemudian dia menghampiri kami. “Gue kira kalian nggak datang.”

“Eh Ham… Gue kan udah janji kemarin. Janji kan harus di tepati.” Katakku.

“Yaudah ayo masuk. Nanti gue kenalin sama teman-teman gue.” Katanya mengajakku masuk ke dalam.

Di dalam aku melihat enam orang lainnya. “Guys, ini teman-teman gue.” Kata Ilham kepada teman-temannya. “Ini namanya Morgan, Kakak gue Reza, Dicky, Bisma, Rangga, dan yang di tuakan Rafael.” Katanya menjelaskan satu per satu.

“Elo…” katakku begitu melihat seorang yang seakan tidak asing.

Dia kemudian menatapku dengan tatapan bingung. Seakan tidak mengenaliku. Detik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah. “Kamu Lala , novelis terkenal itu kan?” tanyanya.

“Elo bukannya yang waktu itu meluk gue di mall kan?” katakku.

“Kaaakkk Landry…..” Tiba-tiba Dina langsung memeluk orang itu.

“Lo udah kenal dia?” Tanya Ilham kepadakku begitu melihat ekspressi wajahku melihat orang itu.

“Belum. Tapi gue pernah ketemu dia di toko buku. dan nggak tau kenapa, tau-tau dia meluk gue. Katanya lagi dikejar-kejar orang.”

“Haha… ada-ada aja. Tapi lo tau nggak, sebenarnya Rafael itu ngefans banget sama lo?”

“Gue? Kok bisa?”

“Dia itu hobi banget baca buku. Apalagi kayak novel yang lo buat.” Kata Ilham menjelaskan semuanya.

“Masa sih, novel gue bisa sesukses itu?” kataku tak percaya.

“Kelihatnnya?” Ilham menatap matakku, benar-benar lekat. Tidak seperti tatapannya yang biasa. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Rasannya ada perasaan lain yang menyelimuti hatiku. Apakah aku jatuh cinta kepadanya?

Bangun Lala , Ilham itu sahabat lo. Nggak mungkinkan lo suka sama dia. Mau lo apain persahabatan lo, kalau lo suka sama dia. Inget dong, Dina juga suka sama Ilham. Jangan nyoba-nyoba ngancurin persahabatan yang udah ada selama bertahun-tahun ini demi cinta sesaat.

***
Tok… tok
Terdengar pintu rumahku di ketuk. Hari ini mamaku pergi, jadi aku hanya sendirian di rumah. “Sebentar…” teriakku dari dalam.
  
“Elo?” katakku terkejut dengan mulut yang mengangga membentuk huruf O, ketika melihat siapa yang berada di balik pintu depan rumahku.

“Boleh masuk?” katannya, iapun tersenyum manis kepadakku.

“Silahkan.” Katakku ragu-ragu, kemudian membukakan pintu untuknya. Aku memersilahkannya duduk di ruang tamu rumahku. “Lo Rafael kan? Temennya Ilham? Dan yang waktu itu ada di toko buku?”

“Ia. Sorry ganggu. Dan gue juga mau minta maaf soal yang di toko buku.” katannya menjawab satu per satu pertanyaan yang aku lontarkan secara beruntun. “Oh iya, gue juga mau minta maaf. Gara-gara gue lo ngerasa di terror selama satu bulan ini. Sorry ya?” katannya lagi

“Maksud lo?”

“Jadi gini…” katanya kemudian mengeluarkan sebuah mawar merah dari balik punggungnya. “Gue yang ngirim ini kerumah lo selama sebulan ini. Sorry kalau lo ngerasa ke terror.”

Aku menatapnya bingung. Masih tidak mengerti. “Jadi maksud lo? Lo yang udah ngirim semua bunga itu ke gue?”
  
“Yup… bisa dibilang begitu.”

“Sama cokelat dan note itu?” katakku lagi.

“Cokelat? Gue nggak nggak pernah ngirim cokelat, apalagi note.”

“Jadi yang ngirim cokelat sama note itu bukan lo?”

Rafael menampilkan tatapan bingungnya ke arahku. Tiba-tiba hand phone ku berbunyi. Sebuah pesan singkat, dari Ilham.

LA, LO DIMANA? CEPET KERUMAH SAKIT, PENYAKITNYA DINA KAMBUH LAGI.
Pikiranku langsung melayang begitu membaca SMS dari Ilham. Penyakitnya Dina kambuh lagi? Kok bisa? Pasti ada sesuatu yang bikin dia kaget, jadinya penyakitnya kambuh lagi.
  
“Kamu mau kemana?” tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Aku baru ingat kalau sedang ada tamu di rumahku.

“Dina, sahabat gue. Penyakit jantungnya kambuh lagi. Sekarang dia ada di rumah sakit. Lo mau ikut?” Rafael menganggukkan kepalanya, dan saat itu juga aku dan dia menuju rumah sakit.

***
“Kok bisa penyakit jantungnya Dina kambuh? Emangnya kenapa?” tanyaku kepada Ilham yang sedang berada di ruang tunggu.

“Jadi begini….”

“Ham, akhir-akhir ini kok sekarang lo jadi sering banget beli cokelat sih? Setahu gue lo nggak suka cokelat.” Tanya Reza kakanya Ilham

“Emang kenapa? Mau tau aja. Suka-suka gue dong….”

“Lo kan adek gue. Jadi, apapun yang lo lakukan gue harus tau. Termasuk sifat lo yang tiba-tiba berubah gini.”

“Jadi sebenarnya…” Ilham diam sejenak. “Gue ngirim ini semua buat Lala. Sebenarnya gue udah suka sama dia dari dulu. Tapi, nggak pernah gue ungkapin. Gue takut di tolak sama dia kak.”

Tanpa di sengaja, Dina mendengar percakapan Ilham dengan Kakaknya. Tiba-tiba, nafasnya langsung tidak teratur, dan seketika itu juga dia pingsan.

“Jadi… lo suka sama gue?” Ilham mengangguk. “Lo juga yang ngirimin cokelat ke rumah gue?” Ia kembali mengangguk. “Dan Dina tau.” Ilham kembali mengangguk. “Ya ampun, Ham… lo tau nggak? Dina itu suka sama lo dari dulu. Dari pertama kali kita sahabatan. Dia bilang dia naksir berat sama lo. Tapi lo nya malah kayak gitu. Gimana nggak penyakit jantungnya kumat lagi?”

“Sorry, La… gue nggak tau.” Ilham terlihat menyesal.

“Udahlah, lo nggak usah minta maaf kayak gitu. Tapi, thanks yang buat semua cokelatnya.” Aku tersenyum kepadanya Ilham pun tersenyum kepadakku. Senyumnya itu benar-benar membuat hatiku cenat-cenut. Jadi inget lirik lagunya SM*SH, kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu. Ahahah… 
Tidak lama kemudian dokter keluar dari dalam kamarnya Dina. “Siapa yang di sini namanya Ilham sama Lala?”

“Kami pak…” aku dan Ilham berdiri secara bersamaan. “Saudari Dina ingin bertemu dengan kalian. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kalian.”

“Maksud dokter?” tanyaku.

“Kondisi saudari Dina sudah tidak dapat di tolong lagi. Penyakit jantungnya sudah tidak bisa di tolong. Mungkin hidupnya hanya tinggal sebentar lagi. Dan tadi dia bilang ingin bertemu dengan kalian. Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kalian dengannya.” Kata dokter itu.
Tubuhku lemas mendengarnya. Rasanya kaki ini membeku, tidak dapat bergerak. Tapi Ilham menggenggam tanganku, kemudian menatapku dengan tatapan yang tidak biasa. Bagaikan api yang benyambar sebongkahan es batu kakiku yang tadi membaku bagaikan es batu yang baru saja mencair.

“Ayo kita selesaikan ini semua.” Katanya, kami berdua pun masuk ke dalam ruangan UGD tempat Dina di rawat.

“Dina…” kata kami bersamaan, begitu melihat kondisi Dina yang terbaring sangat lemas dengan berbagai alat rumah sakit menempel di badannya.

“Lala, Ilham.” Katanya lemas, sambil mencoba tersenyum kepada kami.

“Din, sorry ya… gara-gara gue, lo jadi… jadi… ya… jadi begini.” Kata Ilham, memang kata-katanya terkadang suka nggak jelas apa maksudnya.

“Gue juga minta maaf ya...” katakku kepada Dina

“Gue yang harusnya minta maaf, nggak seharusnya gue jadi jarak diantara kalian berdua. Gue bagaikan kutu yang ada di rambut tau.”
  
“Maksud lo apa din? Ada juga gue yang minta maaf sama lo, bukan lo yang minta maaf sama kita.”

“Gue tau…” katanya samba tersenyum kemudian menggenggam tanganku, dan menyatukannya dengan tangannya Ilham. “Gue tau, lo suka sama Ilham kan, La? Dan Ham, lo suka sama Lala kan? Jadi kenapa kalian nggak jadian aja.”

“Tapi kan…” aku melepaskan genggaman tanganku dengan Ilham.

“Anggep aja gue nggak ada. Sebentar lagi gue juga mati kok. Jadi kalian bisa pacaran dengan tenang. Tanpa ada lagi kutu di rambut kalian. Hehe…” katanya sambil sedikit bergurau, kemdian kembali menyatukan tanganku dengan tangannya Ilham.

Sesaat aku menggengam tangannya Ilham. Benar-benar hangat, rasanya nyaman dan tentaram di hati. Tapi kenapa tiba-tiba tangannya berubah menjadi dingin, dan beku. Bagaikan tidak ada setetespun darah yang mengalir di tubuhnya. Apa jangan-jangan…

Brak….
Nitt…..
Aku terkejut. Ketika melihat Ilham sudah terkapar di lantai, dengan wajah yang pucat dau sudah tidak bernafas lagi. Ditambah lagi alat pendetkesi detak jantung yang terpasang di tubuh Dina juga membentuk sebuah garis lurus.

Aku tertunduk menyesal. Aku benar-benar telah mengorbankan persahabatan kami demi cinta sesaat. Kini, aku benar-benar kehilangan sahabat-sahabat terbaikku. Dan juga semua persahabatan yang telah kami jalin yang benar-benar indah. 
Tamat 


Comments

Popular posts from this blog

Dengan kerjasama Tim Nabi Muhammad Berhasil Mengemban Tugas Kerasulannya

Bukan Sama-sama Bekerja Tetapi Bekerja Bersama-sama

Etika Teamwork dan Amal Jama'i dalam Islam